05/10/14

Glocalization

Sebagai media internasional menyambut gelombang protes di Seattle, bulan November 1999, dengan nada miring. Mereka menyebut sejumlah fakta untuk membuktikan bahwa aksi antiglobalisasi itu tak lebih dari kerusuhan. Para birokrat dan pemimpin bisnis menyatakan, "Anak-anak itu tidak tahu apa pun tentang globalisasi. Mereka hanya kumpulan orang frustrasi yang berpikir dengan aksi semacam itu dunia akan menjadi lebih baik."
T>small 2small 0< ada yang menjelaskan bahwa sumber frustrasi itu berasal dari penderitaan yang dirasakan kaum muda, terutama rakyat pekerja di negara industri maju. Selama 10 tahun terakhir terjadi pemecatan massal, pengurangan upah, pemotongan subsidi kesehatan dan pendidikan serta berbagai kebijakan yang sangat merugikan rakyat.
Presiden Friends of the Earth, Brent Blackwelder, menyatakan, apa yang terjadi di Seattle hanyalah suatu awal. "Globalisasi," katanya, "adalah menghancurkan pekerjaan yang baik di satu tempat dan membangun kondisi patetik di tempat lain." Blackwelder sendiri bergabung dengan aktivis buruh di Seattle.
Blackwelder disambut oleh ilmuwan, aktivis, feminis, asal India, Vandana Shiva, yang menyatakan bahwa globalisasi mungkin saja menciptakan lapangan kerja, tetapi sebenarnya juga menyebabkan kesengsaraan pada jutaan orang lainnya.
Untuk memperluas pasar sekaligus menekan biaya produksi, perusahaan-perusahaan multinasional memindahkan pabrik-pabriknya di negara maju ke negara-negara berkembang dan kurang berkembang sebagai pasar yang ditujunya, yang buruhnya membeludak dan lapangan kerja terbatas sehingga upah buruhnya lebih murah, kondisi kerja dan standar-standar kesejahteraan lebih rendah dan bisa dimainkan dengan hanya memberikan uang sogok pada birokrat yang korup. Nike, Coca Cola, McDonald, hanyalah beberapa contoh saja.
Sementara, TNCs di bidang pertambangan misalnya, dengan dukungan pemerintah di suatu negara yang sentralistik, otoriter, dan korup, diizinkan mengeruk habis kekayaan sumber daya alam di suatu wilayah di negara itu, tanpa menghitung kerusakan yang ditimbulkannya, baik secara sosial maupun lingkungan. Freeport dan Rio Tinto hanyalah dua di antaranya.
Tidak bisa disangkal, sebagian besar proyek besar di dunia didominasi oleh korporasi-korporasi di Amerika Serikat (AS), dan kekerasan dianggap sebagai cara yang lumrah untuk mempertahankannya. Kolumnis New York Times, Thomas Friedman, dalam bukunya The Lexus and the Olive Tree (1999) mungkin keliru menjabarkan dampak globalisasi, tetapi, menurut Direktur Focus on the Global South, Walden Bello, dalam Deglobalization (2002), Friedman sepenuhnya benar ketika menyatakan, "Tangan pasar yang tersembunyi tak akan berjalan tanpa kepalan yang tersembunyi pula. McDonald takkan tumbuh subur tanpa McDonnel Douglas, pencipta pesawat tempur F-15. Kepalan tersembunyi yang mengamankan berkembangnya teknologi lembah silikon di dunia adalah Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Marinir AS. Setelah Serangan 11 September 2001 di New York, kriteria teroris juga dijatuhkan pada kelompok anti-globalisasi. Dean R O'Hare dari Kamar Dagang Internasional di AS menyerukan agar segera diselenggarakan putaran WTO guna "menghadapi kekuatan teror dan anti-globalisasi untuk melanjutkan perluasan pasar dan investasi.
PERGERAKAN barang, jasa, dan investasi, yang agresif menimbulkan kecemasan pada buruh di negara maju, karena akan mengurangi kesempatan kerja dan upah mereka. Globalisasi ekonomi dengan ideologi neoliberalisme hanya mengenal kompetisi penuh sebagai satu-satunya cara untuk bertahan. Siapa yang bertahan, dialah yang terbaik (the fittest the best), dan siapa yang bertahan dialah yang menang (survival of the fittest). Dalam hal ini tak ada kedaulatan negara, apalagi kedaulatan rakyat.
Dalam kasus-kasus seperti ini, organisasi buruh di negara maju yang paling kanan sekalipun, seperti AFL-CIO (American Federation of Labor-Congress of Industrial Organization, organisasi payung berbagai organisasi buruh di AS) akan bekerja sama dengan serikat pekerja di negara berkembang untuk menuntut kenaikan upah dan perbaikan standar kerja dan kesejahteraan. Tujuan keduanya berbeda, tetapi menemukan landasan yang sama untuk bergerak.
Tokoh kritis sepert Walden Bello, menyatakan, liberalisasi ekonomi yang begitu agresif dalam globalisasi, sebenarnya juga tidak memberikan banyak manfaat pada negara berkembang, kecuali kesengsaraan dan penderitaan yang makin kasatmata. Neoliberalisme berarti menolak intervensi pemerintah termasuk dalam berbagai usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak (perusahaan air minum, transportasi umum, telepon, dan listrik).
Deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi pasar menjadi matra bersama yang disepakati dalam Washington Consensus sebelum pertengahan tahun 1990-an, didukung Bank Dunia (WB), Dana Moneter Internasional (IMF), dan bank regional kaki tangan mereka, seperti Bank Pembangunan Asia (ADB). Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mendukung ideologi ini dengan seperangkat sistem dan peraturan yang dikeluarkannya.
Contoh paling baru, seperti dikemukakan oleh Arimbi Heroepoetri dari debtWatch Indonesia, bisa disimak dari pengalaman Perusahaan Listrik Negara (PLN). Perusahaan ini telanjur menandatangani kontrak pembelian listrik dari investor asing saat Orde Baru berkuasa, yang harganya ditentukan secara sepihak, dalam dollar AS, dan terlalu mahal, sekitar tujuh sen dollar per kwh. PLN tidak bisa menjual seharga itu kepada konsumen di Indonesia yang daya belinya hanya 2 sampai 3 sen dollar per KWH. Untuk menutup kerugian ini, pemerintah membuat kebijakan menghapuskan subsidi kepada konsumen. Harga tarif dasar listrik (TDL) pun dinaikkan.
PLN sebenarnya bisa membatalkan kontrak itu, tetapi di dalam Bank Dunia terdapat lembaga MIGA (Multilateral Investment Guarantee Association), yang dibentuk untuk menangani perselisihan antara investor asing dan pemerintah negara tempat investasi dilakukan. MIGA bisa menuntut PLN untuk membayar pembatalan ini.
Akan tetapi, banyak ekonom sekaligus juru bicara pasar modal, dan para tokoh yang mendapat tempat di media massa di Indonesia, misalnya, berlomba-lomba memberikan pandangannya agar Pemerintah Indonesia mematuhi anjuran lembaga-lembaga kreditor internasional, karena hanya dengan sikap takzim itu Indonesia akan mampu bersaing dalam era globalisasi dan keluar sebagai pemenang.
Seorang pejabat di daerah Sulawesi Selatan (Sulsel), mendukung pidato Presiden Megawati Soekarnoputri pada HUT PDI-P di Bali, menyatakan, "Rakyat harus berkorban demi masa depan bangsa." Persoalannya, rakyat, khususnya mereka yang miskin dan paling miskin, sudah begitu banyak berkorban termasuk untuk membayari utang konglomerat yang ngemplang utang, dengan bermacam-macam pajak, dengan eksploitasi sumber daya alam yang menghidupi mereka, dengan kehilangan pekerjaan, dengan sekitar 2,8 juta bayi setiap tahun yang kekurangan gizi, dengan dipotongnya anggaran pembangunan, kesehatan dan pendidikan secara drastis. Masih harus berkorban apa lagi?
GLOBALISASI sebenarnya tidak buruk. Para pendukungnya percaya bahwa dengan globalisasi akan terjadi efisiensi yang membuat tercapainya keunggulan komparatif. Tetapi, mereka melupakan bahwa 75 persen penduduk Indonesia misalnya, hanya berpendidikan setingkat pendidikan dasar sembilan tahun, dan hanya 17,6 persen lulusan SLTA dan perguruan tinggi (data tahun 1999).
Globalisasi memang membuka isolasi. Melalui komunikasi Internet misalnya, terjadi hubungan-hubungan di mana pun di seluruh bagian dunia. Melalui komunikasi Internet, misalnya, berhasil dilakukan tekanan yang menghasilkan perjanjian internasional mengenai ranjau darat, meski ditentang banyak pemerintah negara maju. Akan tetapi juga harus diingat, bahwa dana pembiayaan militer pada tahun 1999 masih sekitar 809 milyar dollar AS setahun.
Tekanan untuk menghapuskan utang beberapa negara paling miskin juga berhasil dilakukan melalui cara ini, meskipun seperti dikemukakan pemenang Penghargaan Nobel Perdamaian tahun 1987, dan Presiden Kosta Rika tahun 1986-1990, Dr Oscar Aries, utang negara miskin naik rata-rata 10 persen setahun. Penghapusan utang juga bukan sesuatu yang cuma-cuma. Aries mengatakan, negara pengutang harus memberikan kompensasi berupa negosiasi perdagangan yang menguntungkan kreditor.
Menguatnya gerakan antiglobalisasi salah satunya didukung oleh sistem komunikasi lintas batas ini. Akan tetapi, menguatnya kelompok-kelompok radikal di berbagai tempat di seluruh penjuru dunia dan teror bom yang membunuh jutaan orang tak berdosa juga memanfaatkan sarana yang sama.
Sisi negatif globalisasi pun memberikan keuntungan pada pihak yang lain, ujar sebagian pembela globalisasi. Terbukanya pasar susu impor dari AS ke Jamaika tahun 1992 menghantam petani susu, tetapi juga membuat anak-anak dari keluarga miskin bisa membeli susu lebih murah. Akan tetapi tidak diperhitungkan, bagaimana orang bisa membeli susu yang paling murah sekalipun kalau pengangguran meningkat karena penutupan pabrik dan tempat-tempat kerja, akibat pengusaha lokal tak mampu bersaing, ditambah dengan kebangkrutan akibat ketidakmampuan pengusaha membayar utang yang dipinjam dalam dollar AS ketika krisis ekonomi membuat nilai uang lokal mengalami depresiasi sampai ratusan persen.
Dalam liberalisasi perdagangan, pemenang Nobel Ekonomi 2001, Joseph Stiglitz, memberi contoh, hampir semua industri maju, termasuk AS dan Jepang, membangun perekonomian mereka secara bijak dan memberikan perlindungan secara selektif kepada beberapa industrinya sampai mereka cukup kuat bersaing dengan perusahaan asing. Selimut proteksionisme ini banyak tidak berjalan di negara berkembang karena cepatnya arus liberalisasi perdagangan.
Memaksa negara berkembang untuk membuka pasarnya lebar-lebar bagi produk-produk impor dari negara industri memiliki konsekuensi yang berbahaya, baik secara ekonomi maupun sosial. Pemaksaan yang dilakukan sebelum negara-negara berkembang tumbuh kuat, memiliki jaring pengaman sosial dan mampu menciptakan lapangan kerja bagi warganya, maka lapangan kerja dan kualitas hidup rakyatnya akan dihancurkan secara sistematis.
Tidak usahlah menyebut buruh tani, petani pemilik tanah di negara berkembang pun tidak akan sanggup bersaing dengan produk-produk pertanian yang disubsidi besar-besaran dari Eropa dan AS. Jumlah subsidi dari kedua wilayah industri maju ini besarnya sekitar satu milyar dollar AS sehari. Situasinya menjadi semakin buruk karena IMF memaksa negara berkembang untuk melakukan kebijakan uang ketat yang akan mempengaruhi bunga utang dan membuat tertutupnya kemungkinan bagi penciptaan lapangan kerja.
Liberalisasi pasar uang yang begitu cepat, atas berbagai prakondisi yang dipaksakan IMF akan membuat negara berkembang seperti kapal yang mengarungi lautan luas dan dalam cuaca yang tidak terduga, sebelum lubang-lubang bocor dalam kapal itu ditambal, sebelum nakhodanya mempunyai kemampuan yang cukup, dan sebelum baju pelampung disediakan. Dalam kondisi terbaik sekalipun, dengan situasi seperti itu, kemungkinan untuk disapu gelombang tetap besar.
Barangkali situasi ini menjelaskan mengapa begitu banyak bank bangkrut ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia mulai tahun 1997, selain menjelaskan mengapa ada rekapitulasi program perbankan (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, BLBI), ditujukan untuk menyehatkan perbankan nasional yang sedang sekarat atas rekomendasi Dana Moneter Internasional.
Sekretaris Jenderal Koalisi Anti-Utang Kusfiardi mengatakan, BLBI ini telah menjerumuskan Indonesia, yang sebelumnya tidak memiliki utang domestik kemudian terbebani obligasi sebesar Rp 640 trilyun atau sekitar 72 milyar dollar AS. Setara dengan utang luar negeri saat ini. Jumlah ini menggelembung karena bunga menjadi sampai Rp 1.030 trilyun. IMF juga memberikan dukungan bagi rencana pemerintah untuk mengeluarkan release and discharge (R&D) atau pengampunan bagi sejumlah konglomerat hitam.
Sebenarnya anjuran IMF merupakan sesuatu yang bisa diantisipasi kalau melihat cara-cara yang berlangsung selama ini. Tidak banyak yang menyadari bahwa bantuan dana apa pun dari luar, termasuk bantuan kemanusiaan, tidak diberikan secara cuma-cuma. Joseph Stiglitz memaparkan, kalau suatu negara maju memberikan bantuan untuk kesejahteraan rakyat di negara berkembang, misalnya untuk pembangunan sekolah, itu bukan disebabkan oleh kemurahan hati atau rasa keprihatinan pemerintah negara maju itu terhadap nasib rakyat di negara berkembang.
Bantuan kemanusiaan hanya akan diberikan kalau negara calon penerima bantuan memiliki sumber dana cadangan, yang dulu bentuknya emas. Namun lembaga-lembaga Bretton Woods, seperti IMF sekarang, mensyaratkan dollar AS. Cadangan ini akan digunakan untuk menalangi (bail-out) utang kalau terjadi kebangkrutan sistem perbankan di negeri itu, meskipun kebangkrutan itu juga disebabkan oleh anjuran kreditor internasional itu. (mh) 
 
Oleh URL Source:
________________________________________
Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 20 Jan 03
Catatan: -